Monday 5 September 2022

Catatan Perjalanan Merantau di Pulau Jawa

 

merantau-di-pulau-jawa

Beberapa bulan lalu, Reni, salah satu teman sekaligus adik di ODOP berkali-kali tanya, “Mbak tips merantau apa?”. Aku yang memang merantau sejak SMA bingung menjawabnya, apa, ya? Selama ini kalau mau merantau, ya merantau aja. Asal ibu kasih izin, semua berjalan baik-baik saja. Hidupku praktis sekali memang untuk ukuran remaja. Bukan hanya karena nggak mau hidup mewah, tapi juga karena belum bisa. Hehehe

Lagi-lagi, catatan ini kuniatkan jadi semacam jurnal perjalanan. Suatu saat jika aku membaca ulang, semoga kenangan bersama seluruh pelajaran yang harus kuambil, kembali bisa kubawa untuk perjalanan selanjutnya, sebagai bekal dan pengingat diri. Agar hati tidak dikuasai sombong, angkuh, merasa tinggi. Karena sejatinya perjalananku bukan perjalanan sultan yang serba mudah  mengikuti kata hati.

Perjalananku Merantau

Aku merantau sejak SMA, karena nggak pengen sekolah dekat rumah. Merantau berarti kesempatanku belajar mengatur diri sendiri terbuka lebih luas.  Benar saja, aku bisa lebih dekat berangkat dan pulang sekolah, ikut berbagai macam kegiatan, dan punya beragam teman.

Kos jaman SMA ku bukan kos mahal, masih tinggal bareng pemilik dan keluarganya. Sebulan cukup bayar 30.000 rupiah saja. Sementara kos saudaraku saat itu per bulan bayar 55.000, 75.000, bahkan 90.000 dan 100.000 per kamar. Di tempatku, 30.000 itu karena sekamar ditempati berdua. Kalau sendiri ya otomatis dua kali lipat bayarnya.

Tidak banyak bekalku untuk merantau saat SMA di kota Jombang ini. Penting bawa baju, dan perlengkapan sekolah, udah. Belum kenal kosmetik, nggak punya uang jajan lebih jadi ga pernah beli barang yang di luar kebutuhan sekolah atau makan. Buat makan, kami bisa masak sendiri dengan iuran minyak tanah buat di dapur (saat itu belum zaman gas tabung melon subsidi), selain tentu saja iuran bahan masak. Atau kalau mau praktis, bayar aja sekali makan 2000-3000 ke ibu kos. Lauknya suka-suka beliau lagi masak apa.

Selesai SMA, pulang ngekos aku cukup naik motor. Nggak banyak barang, jadi nggak repot. Setelah lulus sampai sekarang, aku belum pernah sekalipun sambang ke ibu kos. Gimana kabarnya ya? Semoga mereka baik dan sehat selalu, mungkin sudah lupa denganku. Atau aku yang nggak sopan ya, nggak pernah nengok. Nggak berani sih… apalagi belum nikah, pasti diledekin atau dijodohin. Nggak mauu..

Merantau Kuliah S1

Selesai SMA, takdir membawaku merantau lagi, kuliah di Jogja. Kali ini tinggal di asrama. Tinggal bawa barang peribadi, makan dari catering. Praktis, taunya belajar, kuliah, ikut kegiatan, dan kadang pulang ke rumah nenek (saat itu nenek dari ibu masih ada, aku salah satu cucu kesayangannya). Ya paling pulang ke nenek dua atau tiga bulan sekali. Pulang ke orang tua satu semester sekali.

Selesai kuliah, barangku nggak jauh berbeda dari pas berangkat. Isinya cuma baju, buku, dan rak buku. Nggak banyak tambahan karena memang nggak belanja barang tahan lama. Bahkan ada beberapa barang yang kudapat dari pinjam. Gallon misalnya, punya pakde kubawa ke kos. Selesai ngekos, kukembalikan lagi ke rumah Pakde. Cermin yang kubeli, kutinggal di rumah pakde selesai kuliah, bermanfaat sampai sekarang, alhamdulillah.

Begitu juga sepeda, punya teman ayah, kukembalikan setelah kuliahku selesai sebelum wisuda. Praktis, selesia kuliah pulang cuma bawa barang pribadi. Baju sih yang sempat nambah lumayan, maklum empat tahun berat dan tinggi badan nambah wajar kan ya…

Merantau Berikutnya: Jakarta

Selesai S1, pulang dan sempat merantau sebentar ke Jakarta. Ini nggak sampai setahun, jadi berangkat dan pulang tambahan barangnya nggak banyak. Sama-sama bawa satu ransel doang seingatku. Makan juga beli, jadi nggak ada inventaris barang.

Setelah 3 tahun lebih di rumah karena kerjaan dekat rumah, aku merantau lagi ke Jogja buat lanjut S2. Kali ini benar-benar yang kubawa hanya baju dan laptop. Karena tinggal di rumah Pakde dan Bude, jadi nggak butuh barang inventaris sama sekali. Bahkan sampai sekarang beberapa baju masih kutinggal di sana. Kuanggap rumahku dua, ya Jogja, ya Jombang.

Selesai S2, pulang dijemput mobil yang penuh bukan barangku, tapi oleh-oleh. Biasa, orang tua kalau saling jenguk kan suka gitu ya… sampai akhirnya nggak lama di rumah, takdir kembali membawaku merantau ke Jakarta. Ngajar di sana selama 2 tahun, berangkat bawa baju cuma satu ransel, pulangnya bisa semobil penuh.

Ya gimana, aku beli buku, bantal, tas, dan itu cukup menambah beban hidup. Hahaha…

Saat itu emang nggak ada rencana mau merantau sebentar, udah terima gaji, jadi di enakin aja, pengen apa beli, asal uangnya ada. Nggak mikir besok kalau pulang gimana pindahannya. Eh ternyata, Covid-19 seolah mengusirku dari ibukota. Yasudah, pulang dengan ikhlas meskipun ada sejumlah drama.

Selesai dari Jakarta, aku tinggal di rumah selama pandemi. Orang-orang berpikir aku masih merantau, karena jarang keliatan. Emang seringnya di rumah aja sih beresin kerjaan, nggak suka maen juga kalau nggak ada temen dan jauh sekalian.

Nah, setelah genap 2 tahun di rumah, aku memberanikan diri mencoba merantau lagi. Awalnya mau ke Bogor tahun 2021 kemarin. Udah persiapan mental merantau jauh, eh nggak jadi. Takdir membawaku ke Tasikmalaya. Entah sampai kapan, yang pasti ini harus kujalani dulu. Nikmati, semoga bisa kerasan dan jadi pribadi yang lebih baik lagi.

Karena perantauan ini bakal lama, mungkin suatu saat aku bisa menyebut perjalanan ke Tasikmalaya sebagai “pulang”, bukan lagi merantau. Jadi mulai sekarang, meskipun prosesnya nggak mudah aku berusaha adaptasi lagi sebagai anak perantauan. Banyak orang tahu bahwa tidak mudah bagiku menyesuaikan diri dengan lingkungan, makanan, cuaca, dan Bahasa.

Ada beberapa hal penting yang bagiku harus ditandai sebagai pemicu sekaligus usaha membuat diri sendiri kerasan dan berhasil merantau. Perjalananku merantau di beberapa wilayah Pulau Jawa ini mungkin bisa menjadi inspirasi sekaligus pengingat diri. Insya Allah hal penting dalam mengawali perantauan akan kutulis di post blog berikutnya ya..

4 comments: