Thursday 5 January 2023

Catatan Kesedihan di Awal Tahun 2023

 

P

Kau tahu, seberapa menyedihkan rasanya menjadi orang yang paling akhir tahu tentang sesuatu yang terkait dengan dirimu? Tenang, itu bukan hal paling menyedihkan yang bisa kau rasakan. Pekan ini aku belajar rasa sakit yang lebih parah, yaitu tidak dianggap. Dalam hal apapun, pengabaian adalah bentuk luka paling menyakitkan.

Bagiku, kau boleh marah, menyalahkan, menganggap tidak penting, tapi sampaikan dengan baik. Jangan diam, menghilang, pergi, mengabaikan aku yang berdiri sendiri tanpa pemahaman. Kau tak mengerti seberapa rapuh aku, kan? Dengar, aku…maksudku hatiku sudah pernah hancur. Sekarang ia tampak baik-baik saja, tapi sesungguhnya, hatiku tidak setegar itu.

Peristiwa Menyedihkan Pekan Ini

Anggaplah ini sebagai caratan kesedihan di pekan pertama tahun 2023. Tercatat dua kali di pekan ini aku merasa seperti sudah melakukan kesalahan besar yang tidak kupahami, sebenarnya salahku apa? Salah satu peristiwa terjadi pekan lalu sih, tapi baru kerasa lukanya di pekan ini. Gimana dong?

Mau kuperjelas?

Pertama, ketika ada yang bertanya, “Kamu lagi ngejar aku? Kok sikapmu begitu ke aku?” Hatiku kaget, spontan berpikir, “Sikapku yang mana salah, ya? Sampai ada yang berpikir aku sedang PDKT ke dia? Oke, aku salah, jadi harus minta maaf.” Tanpa menunggu hitungan jam, tanpa membaca detail “judge” di pesan panjang yang dia kirim sebelumnya, aku mengetik permintaan maaf beberapa kalimat. Satu hal yang pasti, saat ada yang berpikir bahwa aku salah, maka aku harus segera minta maaf.

Permintaan maaf itu kuanggap sebagai cara yang baik untuk menutup sebuah kasus. Aku sudah minta maaf dan dimaafkan, maka urusan itu selesai. Menjadi berbeda ketika bertemu langsung, karena aku masih harus membuktikan kalimat sanggahan yang kukirim sebelumnya adalah benar, tanpa ragu. Masalahnya, hari pertama bertemu setelah peristiwa itu, adalah hari saat sakit kepala menyerangku dengan hebat.

Aku mau bersikap ramah seperti biasa, tapi tidak bisa. Setengah porsi jam kerja di hari itu kuhabiskan dengan berpikir tentang cara paling efektif untuk meredakan rasa nyut-nyutan di ubun-ubun. Apakah aku harus membatalkan puasa? Atau pulang lebih awal lalu tidur? Bukankah akan lebih buruk saat merasa sakit sendirian di kamar? Akhirnya hanya sikap berusaha tenang yang bisa kutunjukkan. Ayolah, sakit kepala ini sementara. Sebentar lagi pergi. Sabar, ya…

Hari itu kututup dengan cara yang baik, saat dewa penolong akhirnya mengobatiku dengan caranya yang unik. Beberapa percakapan panjang dengan seseorang yang dewasa dan sangat ... Layak menjadi partner hidup berhasil menghibur dan meredakan sakit kepalaku sore itu. Kami berbincang sampai malam tiba, dan tidur dengan nyenyak. Esok paginya, kurasa kepalaku bisa berpikir dengan lebih baik dan tubuh terasa lebih ringan.

Soal tuduhan ingin mendapatkan seseorang yang aku tidak merasa pantas berdiri di sampingnya dan kupikir begitu juga sebaliknya, bisa kuabaikan dan kuanggap tidak perlu jadi pembahasan panjang. Harapan sederhanaku, tidak lagi aku salah mengambil sikap sehingga maksudku yang ingin bergaul dengan baik malah disalahartikan.

Mungkin perlu ada yang mengajariku cara bergaul dengan lawan jenis terutama, sehingga maksudku yang ingin biasa saja, berteman dengan baik, tidak disalahartikan lagi nanti. Saat ini tiba-tiba aku teringat ucapan seorang kawan di bangku sekolah,

“Matamu, Ki. Hati-hati… Pandanganmu bisa dianggap terlalu tajam bagi lawan jenis. Kalau aku bukan teman dan tidak mengenalmu dengan baik, sangat mungkin aku berpikir bahwa kau sedang tertarik padaku.”

Sementara aku yang duduk di depannya sambil menikmati semangkuk bakso, langsung tersedak. Setelah adu argumen, aku berterima kasih padanya sekaligus minta maaf, karena sungguh saat itu dia kuanggap sebagai teman yang baik dan memahamiku. Setelah kejadian itu, aku tidak benar-benar memikirkannya.

Apa sekarang aku harus minta maaf secara langsung dan berterima kasih karena sudah berterus terang? Tidak perlu, kan? Semoga sikapku yang benar-benar menganggap dia biasa saja, bisa dipahami dan tidak terjadi konflik serupa di masa depan. Aku sedang bersiap mengumumkan siapa lelaki yang kuanggap layak disebut pasangan, jadi tolong bersabar.

Kedua, adalah ketika pagi di akhir pekan dua orang kawan baik seolah menuduhku sedang dekat dengan seseorang di sekitar sini. (Ujian macam apa lagi ini?) Apa statusku yang masih lajang adalah sasaran empuk misi perjodohan? secara teori, itu wajar dan sangat mungkin. Hanya saja di sisi lain aku hampir tak percaya, apakah aku perlu mengumumkan siapa sebenarnya orang yang sedang dekat dan sangat berjasa padaku selama ini agar mereka tidak berprasangka lagi?

Tidak! Tahan ya…. Sabar…

Ya Allah…. aku salah apa lagi kali ini?

Baik, aku benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Dalam situasi ini, idealnya aku bisa bertanya kepada mereka tentang alasan sikap itu. Peristiwa apa yang kulewatkan sebelumnya? Hingga mereka begitu leluasa, seolah merencanakan perjodohanku adalah proyek besar yang menarik dan sangat penting disukseskan.

Sayangnya, saat aku bertanya “Kalian kenapa? Ada informasi apa? Kejadian apa yang kulewatkan sebelumnya? Jawaban mereka hanya, “Nanti juga kamu tahu.”

Hah???

Terima kasih sudah menyakitiku dengan jawaban yang kalian sembunyikan.

Kalimat-kalimat kalian selanjutnya tidak jelas berdengung di kepalaku. Termasuk rencana kegiatan pekan depan, mana yang harus kuikuti? Terserah nu mana nu kudu diiluan, nu penting mah ukur grup mana nu bagja lamun aya di antarana. Upami abdi kedah lebet sadayana, muhun hayuk, atanapi upami henteu aya anu ngajak kuring, masih seueur anu tiasa dilakukeun.

Semakin ramai pertanyaan itu datang, ada sesuatu yang ingin meledak dari dalam diriku. Beberapa menit kemudian aku memilih menghindar, menenangkan hati dan meyakinkan diri, all is well. Saat kembali ke ruangan, kuanggap selesai konflik dalam diriku yang tadinya kesulitan menerima ketidaktahuan.

Bukankah adakalanya, tidak tahu apa-apa itu jauh lebih baik dibandingkan sebaliknya?

Setelah kesedihan ini kutulis dan kupublikasikan di blog, maka interpretasi selanjutnya kuserahkan pada para pembaca. Hal pertama yang kupahami, aku tidak menyebut nama, tempat dan detail kejadian. Jadi secara hukum tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kedua, jika kejadian serupa terulang kembali, semoga aku bisa menyikapinya dengan cara lebih baik dan emosi yang lebih stabil.

Untuk pelajaran berharga di pekan pertama 2023 ini, aku mengucapkan terima kasih pada diri sendiri. Karena sudah berusaha tegar, kuat, dan tidak membalas menyakiti siapapun pada akhirnya. Selain itu, mau menulis dan mempublikasikannya berarti sebuah keputusan untuk berani lebih terbuka pada dunia, tentang apa yang menyebabkan rasa sedih atau bahagia. Mungkin ini baik untuk jadi rutinitas pekanan, mengisi blog yang sepi tanpa banyak tulisan.

Terima kasih, ya sudah membaca…

 

3 comments:

  1. Kak aku sudah membaca, sebagai orang yang merasakan kesedihan di akhir tahun dan sampai sekarang masih terasa, aku berdoa semoga Kak Saki sehat dan bahagia selalu, terima kasih selalu mendengar curhatanku, peluk jauh untuk Kak Saki 🤗

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwk.. Terima kasih, nanti bagian catatan pentingnya juga ada, agak malem insya Allah.. Hehe

      Delete
  2. commercial contract disputes lawyer
    The author's 'Catatan Kesedihan di Awal Tahun 2023' is praised for its poignant reflections, vulnerability, authenticity, and profound insight into the human experience. The narrative offers profound insight into the human experience, and the writing style captivates readers. The author navigates sadness with courage and resilience, leaving a lasting impact on the reader. Each line is filled with heartfelt sentiment, making 'Catatan Kesedihan di Awal Tahun 2023' a beautifully crafted work that touches the soul.

    ReplyDelete