Friday 27 January 2023

Ujianmu Bukanlah Yang Paling Berat di Dunia

 

jurnal-syukur-2023

Pekan terakhir di bulan pertama tahun 2023 ini rasanya istimewa. Saya mendapat teguran, ujian, sekaligus nasehat yang perlu diabadikan, minimal lewat tulisan ini. Betapa sering seseorang merasa bahwa ujian yang harus dihadapinya terasa sangat berat, bahkan paling berat di dunia? Saya pikir, setiap orang pernah merasa begitu.

Sekitar sepuluh tahun lalu, saya pernah mengalami gangguan ritme jantung. Setiap kali drop, jantung saya berdetak cepat tidak teratur, tekanan darah menurun drastis, suhu tubuh turun, dan rasanya lemas sampai hampir pingsan. Beberapa kali saya benar-benar pingsan. Setiap kali kambuh, saya merasa jatah hidup sudah hampir habis. Saya siap dipanggil kapanpun, meskipun ibadah sedikit.

Kalau sudah sakit separah itu, harapan sembuh rasanya terlalu tinggi. Apalagi bisa kembali “hidup normal”, itu seperti cita-cita yang hanya ilusi. Singkat cerita, Allah punya rencana lain sehingga saya bisa pindah domisili, melanjutkan kuliah magister, merantau lagi, dan sekarang bisa jadi dosen. Jauh dari rumah pula.

Ujian Pekan Ini

Waktu berlalu begitu saja, alhamdulillah sejak 2015akhir - awal 2023 ini rasanya tubuh jauh lebih sehat. Kadang masih nggak percaya kalau ujian berat waktu itu bisa dilalui dengan baik. Meskipun saya sadar, ujian hidup belum selesai, minimal sampai hidup kita berakhir di dunia ini.

Pekan terakhir di bulan Januari, saya sedang menunggu kabar besar yang akan menjadi pembuka jalan hidup dan nasib saya berikutnya. Beberapa orang dekat sempat berpikir saya sedang mabuk cinta. Salahkah? Nggak juga sebenarnya, cuma kok rasanya saya belum beneran mabuk.

Anggaplah saya sudah merencanakan banyak hal terhadap status cinta ini, biar nggak dianggap jomlo selamanya. Padahal ya emang nggak pernah berniat selamanya jadi jomlo, cuma nasib aja sih yang harus dijalani. Masalahnya adalah, kabar yang datang justru antitesis terhadap harapan saya. Rasanya ibarat sudah mau buka pintu biar cepat masuk rumah, kuncinya hilang.

Sedih? Pasti.

Nangis? Iya.

Jujur nih. Hari Kamis ba’da maghrib tangis saya tidak berhenti sampai beberapa puluh menit. Sampai capek, sesak, dan ngantuk. Mirip anak kecil kalau ngambek, kan? Emang saya masih kecil, huft.

Kenapa sampai nangis? Patah hati? Nggak bisa move on? Atau sakit hati karena harapan tidak sesuai kenyataan? Sungguh, kalau benar itu yang terjadi, mungkin tidak perlu menangis. Sudah lama menangis jadi pekerjaan sulit buat saya.

Tangisan itu menjadi panjang dan terasa berat karena saya tidak mampu menjawab pertanyaan diri sendiri:

Apa yang sebenarnya Allah mau dengan ujian ini?

Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?

Saya harus bagaimana biar Allah ridha dengan doa-doa saya?

Apa dosa saya sehingga harus menghadapi ujian seberat ini?

Pertanyaan itu berputar di kepala, tanpa menemukan jawabannya. Akhirnya hati saya sedih, merasa diabaikan dan tidak dianggap penting sama Allah. Apa artinya seorang hamba yang tidak mendapat perhatian dari penciptanya? Bagi saya, diabaikan olehNya itu berarti bencana.

Ujian Saya Bukan Yang Paling Berat

Hari jum’at pagi, saya melihat status beberapa teman, termasuk adik angkatan di SMA. Sepertinya anaknya rawat inap di RS, setelah beberapa hari yang lalu statusnya menunjukkan kesedihan. Saya membalas status itu, menanyakan kondisi anaknya. Ternyata benar, salah satu anaknya dirawat karena thypus. Satunya lagi sakit, dititipkan di rumah pengasuhnya. Dia sendiri? Sakit juga.

Kebayang seorang ibu muda, dosen, pekan kemarin dia bilang sedang mengurus kenaikan pangkat (saya pikir itu belum beres), dia jatuh sakit, dua anaknya yang masih balita juga sakit, dan harus mengurus semua sendiri. Suaminya ada, kan harus kerja juga. Pengasuhnya pun sakit. Bisa apa seorang ibu dalam kondisi seperti itu? Kalau saya, mungkin sudah entah…

Hal istimewa lainnya adalah, adik dosen ini sedang ulang tahun. Ya, 27 Januari adalah hari lahirnya. Hari istimewa yang harusnya dilalui dengan bahagia bersama keluarganya tersayang, harus dilalui di bilik rumah sakit demi kesembuhan anak sulungnya. Saya bahkan lupa kalau dia sedang ulang tahun hari itu. Maaf, ya…

Semoga Allah mengganti setiap kesedihanmu dengan masa depan yang jauh lebih baik, kemudahan dalam menghadapi setiap ujian hidup, dan berkah dalam setiap rezeki. Semoga Allah selalu menguatkanmu untuk jadi istri dan ibu yang lebih baik dari sebelumnya. #peluk sayang…

Jum’at sore, adik yang lain pasang status sedang sedih karena harus antri panjang untuk beli bensin, telat antar anak latihan taekwondo, dan tetap harus menjalankan peran istri dari seorang pengusaha yang sedang berjuang untuk disebut “cukup kaya”. Saya membalas statusnya, menyampaikan nasehat kesabaran. Berharap nasehat itu kembali pada diri sendiri.

Status balasan itu kemudian berekor pada cerita panjang. Beberapa hari lalu, pegawainya yang jadi sopir tidak sengaja melindas kaki temannya yang juga kernet, dan kemudian temannya itu meninggal. Bukan meninggal di tempat, tapi akibat kurang sigapnya perawatan di rumah sakit setelah kejadian. Beruntung, orang tua korban paham pada kondisi dan tidak menuntut secara hukum.

Bagaimanapun, santunan sepantasnya tetap wajib diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan. Kejadian ini sesungguhnya bukan yang pertama, karena bulan kemarin kakaknya yang tinggal beda pulau mengalami kecelakaan, tidak sengaja menabrak orang dan yang ditabrak meninggal. Keluarga korban menuntut ganti rugi motor baru, tunjangan untuk 4 anak korban yang ditinggalkan, dan pengurusan jasa raharja sampai cair.

Selesai urusan yang menghabiskan puluhan juta itu, musibah lain datang dari pegawainya sendiri. Saya langsung membayangkan seandainya ada di posisi dia sebagai istri pengusaha yang karyawannya mengalami kejadian tragis begitu, mungkin tidak sanggup. Juga sebagai seorang anak yang harus menanggung kehidupan keluarga besarnya.

Ujian Sesuai Batas Kesanggupan Masing-Masing

Seringkali kita merasa ujian yang harus kita hadapi adalah yang paling berat. Sehingga jika ujian itu digantikan orang lain, tidak akan sanggup. Hal ini sesungguhnya benar, karena berlaku juga sebaliknya. Ujian yang orang lain hadapi, tidak akan sanggup kita pikul. Karena memang sifat ujian itu menyesuaikan dengan penerimanya.

Semakin berat ujian, semakin tinggi level kesulitan yang harus dihadapi. Hukum alam berlaku universal, sehingga kita tidak bisa memilih ujian apa yang harus kita hadapi saat ini. Ujian hampir selalu datang pada titik lemah kita sebagai manusia.

Saat kita lemah dalam mengatur keuangan, maka ujiannya adalah tentang bagaimana mengatur keuangan. Saat kita lemah dalam mengelola perasaan, maka ujian yang hadir adalah agar kita mampu mengatur perasaan sehingga tidak menjadikan orang lain sebagai korban. Saat kita tidak mampu menolak sesuatu, maka jangan heran dihadapkan pada pilihan yang sulit diterima.

Baik, sekarang saatnya menerima bahwa status jomlo belum akan berganti dalam hitungan hari. Tidak mengapa, karena sungguh, saya ingin merasa ridha dengan kesulitan dan kebahagiaan yang Allah tetapkan. Saya ingin termasuk dalam orang yang sabar, saya ingin terus berharap padaNya. Lewat doa, sikap, ucap, dan setiap laku dalam hidup.

 

No comments:

Post a Comment