Design by Canva |
Pada suatu masa, aku pernah hidup bak putri dalam dongeng. Bukan putri yang tinggal di istana, dikelilingi oleh para pelayan dan fasilitas serba ada, tapi putri kecil yang tinggal di desa daerah pegunungan. Sebagai putri pertama, ibuku berusaha memenuhi kebutuhanku tanpa tapi.
Saat aku butuh pakaian, ibu bisa mendapatkannya. Entah dari lungsuran
saudara, entah dibelikan teman ibu atau tiba-tiba ayah pulang bawa baju baru untukku, atau beli sendiri jika punya uang. Aku butuh
makanan bergizi, ada ayam nenek yang telurnya bisa dijadikan lauk, bisa juga disembelih kalaiu keturunannya sudah banyak. Ada
sayur mayur di kebun, singkong, ubi, yang bisa dimasak berbagai macam panganan
agar aku tidak bosan meskipun menunya sederhana. Tidak punya uang? Tidak
masalah, ibu bisa mengasuhku sambil bekerja. Ini benar-benar terjadi saat aku
masuk sekolah TK.
Hidupku yang belum mengenal gadget dan jajanan berbungkus
warna warni adalah masa paling merdeka yang pernah kucicipi. Jika harus
bepergian antar kampung atau tidak terlalu jauh dari rumah, ibu biasa
memboncengku di sepeda mini warna pink yang dibelikan ayah. Kadang kami naik
kol bak. Mobil tepak alias mobil bak pengangkut pasir atau barang lain,
untuk ikut pengajian di tempat jauh, rombongan dengan ibu-ibu dan bapak-bapak
dusun. Sampai usia TK, bisa dihitung jari aku pernah naik mobil betulan yang
memang digunakan mengangkut orang. Apalagi naik kereta api? Ini baru terjadi
setelah aku masuk SD.
Masa Kecil Anak Sekarang
Jika dibandingkan dengan kehidupan anak sekarang, rasanya kok jauh sekali ya? Anak sekarang kalau main bisa minta pergi ke playground. Kalau tinggal jauh dari kota, masih ada odong-odong yang standby di depan mini market langganan. Tidak dituruti? Nangis bisa jadi senjata paling efektif. Minimal sebentar kemudian dibelikan mainan baru karena orang tua tak tahan dan tak punya cara selain menuruti kemauan anaknya.
Ibunya tidak sempat buat MPASI, ada tukang jualan bubur
pagi-pagi. Malas mencuci dan tidak punya mesin sendiri? Tenang, ada laundry.
Bahkan untuk sarapan, makan siang, dan makan malam seluruh anggota keluarga
bisa beli. Asal kuat uangnya, barang-barang bahkan bisa datang sendiri ke
rumah.
Bukankah harusnya kehidupan sekarang membuat orang merasa
lebih merdeka? Bahagia? Sayang sekali, di zaman yang sama hampir setiap hari
kita disuguhkan berita di luar nalar. Ada anak membunuh orang tuanya, orang tua
mencelakai anaknya, berita pergaulan bebas, fitnah, selingkuh, LGBT, belum lagi
berita politik dinasti yang jika dipikir baik-baik, ini semua mengerikan.
Hei, memangnya dulu tidak ada berita serupa? Mungkin saja
ada, hanya karena tidak viral, tidak sampai ke mata dan telinga, sehingga otak
kita terjaga dari kabar demikian? Ya, tentu saja mungkin begitu. Setiap zaman
memiliki ujiannya sendiri, bukan?
Beberapa orang tua yang kutanya soal cara mereka
memperlakukan anak di zaman serba praktis ini menjawab, “Ya memang sudah zamannya demikian. Jangan samakan
dengan zaman ketika kita masih kecil dulu,” ada juga yang menjawab, “Kalah
janji, sih. Dulu pernah janji sama diri sendiri jangan sampai anak cucu
menghadapi hidup sama sulitnya denganku. Biarkan mereka menikmati hasil kerja
keras orang tuanya. Aku tidak mau melihat anakku menderita.”
Membandingkan kehidupanku sendiri saat kecil yang bahagia
saja tanpa gadget, yang bebas menghirup udara segar, yang bebas dari makanan
berpengawet dan berpenyedap, yang aksesnya masih serba terbatas tapi tetap
terasa indah dengan kehidupan balita sekarang yang banyak terdistraksi oleh
kemajuan teknologi dan zaman membuatku berpikir banyak. Apakah anak-anak
sekarang benar-benar merasa bahagia dengan pilihan hidup yang diberikan orang
tuanya?
Letak dan Wujud Bahagia
Aku jadi belajar menilai kebahagiaanku sendiri, di mana letaknya? Apa wujudnya?
Sepertinya tidak adil jika aku hanya membandingkan
kebahagiaan, tanpa menuliskan standar atas kebahagiaan itu sendiri. Tentu saja
setiap orang memiliki standar bahagia masing-masing, yang sangat mungkin
berbeda antara satu orang dengan lainnya. Ada yang standar bahagianya adalah
uang yang banyak, anak yang lucu sekaligus cantik dan ganteng, harta melimpah,
kendaraan mewah, pasangan setia, atau jabatan dan status sosial. Lalu standar
siapa yang pantas dituliskan di sini?
Ada baiknya kita pakai standar hidup dasar manusia, yaitu Al
Qur’an. Sebagai kitab suci sekaligus pedoman hidup paling tua yang masih bisa
dibaca manusia, ia layak menjadi standar, bukan? Yap, menurut Q.S. Al Baqarah
ayat 38, bahagia itu bisa tercipta begitu saja ketika manusia mengikuti
petunjukNya, sehingga tidak merasa takut dan tidak bersedih hati. Sungguh,
kalimat yang sederhana tapi tidak mudah mewujudkannya. Manusia seringkali
berperang dengan ego untuk mewujudkan bahagia dengan standar yang diciptakannya
sendiri.
Bahagia adalah ketika kita tidak perlu merasa takut,
tidak pula bersedih hati. Kedua hal itu dapat terwujud ketika kita mengikuti
petunjukNya dalam menjalani hidup.
Sungguh, siapapun bisa mewujudkan kebahagiaan, dengan atau
tanpa kekayaan. Mau dia punya jabatan atau hanya rakyat jelata, mau punya harta
melimpah atau serba kecukupan hidupnya. Lalu nikmat mana yang pantas kita
dustakan?
Kadang otakku jahil, ingin sekali kembali ke masa kecil yang
penuh kebebasan dan merdeka menghadapi dunia. Aku tidak perlu takut akan masa
depan, tidak perlu bersedih hati atas sesuatu yang sudah terjadi. Merdeka
sekali rasanya, bukan? Kalaupun takut atau bersedih, cukup sebentar saja. Tapi mana ada hidup yang berjalan mundur? Ngadi-ngadi,
kata anak sekarang.
Bagaimanapun, kita tak akan kembali pada kemarin, apalagi
masa lalu. Kita tidak akan pernah mampu mengulang masa kecil, kecuali membantu
anak-anak kita melalui masa kecilnya dengan lebih baik, lebih indah, dan
mungkin lebih bahagia.
Apapun standar bahagia kita, alangkah bijak jika bahagia
sesuai kehendakNya juga masuk dalam kamus besar hidup kita selanjutnya. Jangan
meletakkan perkara duniawi di atas tujuan penciptaanNya atas diri kita. Iya,
kita diminta hidup dengan bahagia kok. Bahkan rezeki pun diaturNya sedemikian rupa. Sudah diatur pula jalan menuju bahagia
itu, tinggal “nurut” doang, masa nggak mau?
Oke, pelan-pelan juga boleh. Mulai dari memenuhi kewajiban
ibadah setiap hari, menjaga hati tetap ikhlas menghadapi segala bentuk perkara,
menjaga tubuh dengan olahraga dan makanan yang baik, menjaga pola pikir dari
prasangka buruk, menjauhkan diri dari pergaulan yang salah, menjalani pilihan
hidup sesuai kehendakNya. Bukankah ini konsep hidup merdeka dalam versi
sederhana?
Kita sungguh tidak perlu khawatir tentang masa depan, biar
doa-doa membatasi kita dari hal buruk, sehingga hanya hal baik yang akan
terjadi pada kita. Biar pengetahuan dan logika kita dalam mengambil keputusan
mengantarkan kita pada pilihan yang baik di masa depan. Biar keyakinan kita
atas petunjuk dan takdir terbaikNya menjaga kita di jalan yang benar.
Lalu tentang masa lalu, tak ada yang perlu kita bawa lagi
kecuali pelajarannya. Tidak seharusnya kita berlarut dalam kesedihan yang
panjang, toh tidak bisa kita ulang lagi ke belakang, kan? Sudah saatnya, jika
masih ada, kita melepaskan beban masa lalu agar tidak terlalu berat langkah
menuju masa depan. Sudah waktunya kita fokus pada diri sendiri, agar tidak
tertinggal di belakang sementara zaman terus maju tanpa pernah peduli pada
permintaan kembali.
Bahagiaku
Kita bisa mewujudkan bahagia dengan cara-cara sederhana. Misalnya, bernapas dengan tenang, menikmati setiap langkah, fokus mengerjakan apa yang harus kita selesaikan hari ini, melihat dan membalas senyum orang-orang sekitar, melaksanakan kewajiban ibadah, menyempurnakan hal-hal yang sifatnya sunnah, memperbaiki apa yang kemarin belum sempurna, dan sebagainya, dan seterusnya. Begitu saja kita masih banyak salah, kan? Baik salah di mata sendiri maupun di mata orang lain.
Dalam wujud nyata, aku bisa merasa lega (kalau masih terlalu
absurd disebut bahagia) bukan ketika menyandang status pekerjaan tetap sebagai
PNS, tapi ketika tahu berhasil menyelesaikan setiap tahap ujiannya dengan baik.
Aku bisa merasa lega bukan karena gaji yang memang tak seberapa, tapi karena
mampu tidak menjadi beban orang tua atas biaya hidup yang harus kutanggung. Aku
bisa merasa lega setiap kali mendengar suara ibu bercerita banyak hal, dan itu
kuulang hampir setiap hari tanpa peduli berapa puluh menit habis suara kami
mengudara.
Aku bahkan mudah merasa puas, ketika bisa menyelesaikan tantangan untuk diri sendiri. Padahal para motivator sering berpesan, "Jangan mudah berpuas diri", tapi sungguh semakin sulit seseorang merasa puas, semakin besar keinginannya dan energi yang harus dihabiskan untuk mencapai kepuasan. Pada titik tertentu, seseorang itu mudah sekali merasa sangat lelah mengejar kepuasan.
Maka bagiku, mudah berpuas adalah salah satu cara menyederhanakan pencapaian bahagia. Entah itu membaca buku, merajut benang, merapikan
barang-barang, juga termasuk menjaga hubungan. Ya, dengan orang-orang yang
masih bisa dijaga hubungan baiknya, aku cenderung berhati-hati untuk tidak
menciptakan luka lagi. hanya kepada mereka yang sulit disambung lagi, aku
memilih membatasi diri. Bukan karena ingin disebut sombong, bukan. Ini adalah
usaha kecil untuk tidak menciptakan konflik yang ke sekian kali, sekaligus
mencegah diri menciptakan luka lagi.
Jadi, masih ingin kembali ke masa kecil yang merdeka dan
bahagia?
Mungkin kita sama, ingin tapi ngagk mungkin. Sungguh tak
mengapa, ingin itu gratis selama kita masih realistis.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI
No comments:
Post a Comment