Tuesday 2 August 2022

Pelajaran Berharga Dari Kasus Kematian Bayi di RSUD Jombang dan Hukum Medis di Indonesia

 

rsud-jombang

Sejak kemarin, kepalaku cukup pening kepikiran bayi anak pertama salah satu pasangan yang jadi pasien di RSUD Jombang. Berita tentang mereka trending hampir di semua lini media sosial popular beberapa hari kemarin. Aku merasa ngilu, sesak, sampai semalam sulit mengawali tidur. Berharap dengan menulis dan membagikannya, sebagian isi kepala ini tumpah di tempat yang tepat.

Kronologi

Berita viral ini berawal dari thread di Twitterland. Sebuah akun menulis tweet tentang pangalaman sepupunya yang melahirkan di RSUD Jombang dan mengalami kejadian tragis. Aku merangkum cerita ini dari beberapa artikel yang beredar sejak kemarin. Sebagai catatan peristiwa yang semoga bisa diambil pelajaran buat pembaca.

Awalnya saat sudah mulai kontraksi dan bukaan, ibu hamil yang juga sepupu pemilik akun Twitter itu dibawa ke Puskesmas Sumobito. Aku kroscek di berita lain ibu hamil ini sudah bukaan 3 saat datang ke puskesmas.

Setelah sejumlah pemeriksaan dan dokter puskesmas melihat tanda preeklamsia dan hipertensi, maka dirujuklah ke RS. Akun Twitter tersebut menyebutkan bahwa sepupunya dirujuk untuk mendapat tindakan SC (operasi pengangkatan janin). Sementara di artikel lain, Puskesmas terkait membantah berita tersebut. Mereka memberi rujukan berdasarkan hasil pemeriksaan, soal tindakan selanjutnya adalah kewenangan RS tujuan.

Baik, sampai di sini kepalaku mencoba merangkai runtutan peristiwa berdasarkan beberapa artikel yang beredar luas. Apakah Faskes Tingkat 1 berhak menentukan tindakan lanjutan setelah dirujuk? Jika tidak, pernyataan Puskesmas lebih masuk akal, kan? Tindakan lanjutan setelah pasien sampai di RS adalah tanggung jawab dokter yang bertugas.

Lanjut ke kronologi di RS, saat datang si ibu hamil diceritakan sudah lemas, minim tenaga, dan tentu tekanan darah tinggi jika memang diagnosis awalnya preeklamsia. Disitu beberapa artikel menyebutkan bahwa petugas kesehatan di RSUD Jombang masih menyarankan untuk lahiran normal. Begitulah standar prosedur untuk pasien BPJS kelas 3. Bagian ini juga masalah tersendiri, apakah benar pasien rujukan BPJS Kelas 3 boleh diabaikan kondisinya dari pasien kelas 2, kelas 2 atau umum?

Kejadian selanjutnya adalah kontraksi makin menjadi tapi tenaga sang ibu terus melemah. Beberapa tindakan dilakukan untuk persalinan normal. Termasuk induksi dan pemberian obat. Sampai di sini isi kepalaku meronta membayangkan kejadian itu.

Haruskah lahir normal dipaksakan dalam keadaan ini? Apa dokter tidak melihat kemungkinan buruk yang akan terjadi setelahnya? Apa dokter tidak mampu mengambil tindakan logis untuk menyelamatkan keduanya dalam kondisi demikian? Apa mereka manusia terhormat yang layak menyandang gelar dokter? Bagaimana bisa mengabaikan kondisi pasien sejak awal dan perkembangannya dalam beberapa jam?

Oke, akhirnya janin meninggal di Rahim. Berhasil keluar kepalanya, tapi bahu dianggap terlalu lebar sehingga sulit keluar. Sampai akhirnya 3 dokter yang bertugas sepakat memisahkan kepala dari tubuh bayi.

Karena si janin sudah tidak bernyawa, otomatis prioritas tindak penyelamatan adalah ibunya. Kemudian si ibu dioperasi untuk mengeluarkan bagian tubuh janinnya. Sampai disini terbayang bagaimana perasaan dan kondisi ibunya? Sudah tersiksa dengan kontraksi, perjalanan, suasana kurang menyenangkan, masih harus kehilangan buah hati yang dibuai selama 9 bulan itu.

Lihatlah, tindakan darurat ini harus diambil, melihat kondisi yang ada. Secara standar operasional medis mungkin itu benar. Akan tetap masalahnya adalah kenapa sejak awal keselamatan ibu dan bayi tidak menjadi prioritas, justru petugas kesehatan terkesan memaksakan prosedur dengan mengabaikan kondisi pasien?

Pagi ini ada kabar lagi, karena tindakan dokter tersebut rahim si ibu harus diangkat. Allah… bukankah itu berarti mereka tidak bisa punya anak lagi? Tidak cukupkah rasa sakit akibat kehilangan anak pertama, harus ditambah dengan kehilangan kesempatan kedua dan seterusnya?

Data ini harus divalidasi, memang. Hati kecilku berharap berita ini salah. Rasanya ingin sekali percaya, si ibu baik-baik saja setelah tindakan dokter yang ekstrim itu. Masih ada masa depan yang harus mereka perjuangkan. Salahkah harapan ini?

Kasus Nyata Vs K-Drama Doctor Lawyer

Ingatanku melayang pada drama korea berjudul Doctor Lawyer, kisah dokter yang kehilangan lisensi medis karena tuduhan malpraktik. Ia tidak jatuh dan terpuruk. Justru setelah selesai dari masa hukuman, ia belajar jadi pengacara, spesialis kejahatan medis. Kasus demi kasus ditangani untuk mengungkap kejahatan gurita raksasa.

Apakah di Indonesia bisa begitu? Adakah undang-undang yang khusus membahas kejahatan medis? Aku menemukan UU Nomor 29 Tahun 2004. Cek web Mahkamah Agung hanya ada 219 kasus yang diputuskan selama tahun 2010-2020. Sementara di media sosial, dugaan kasus malpraktik di dunia medis dalam sebulan saja ada lebih dari 10 kasus, tersebar lewat berbagai artikel dan media online.

Mungkin tidak semua kasus tersebut dibawa ke pengadilan oleh para pihak terkait. Mungkin sebagian dari kasus tersebut bisa diselesaikan secara damai. Mungkin memang sudah demikianlah budaya yang tercipta di Indonesia. Mungkin butuh doctor lawyer agar para penjahat medis tidak merasa bebas berkeliaran tanpa harus menyadari kesalahan dan menerima konsekuensinya.

Hikmah Kejadian

Bagaimanapun, hukum alam adalah milik penguasa semesta. Manusia boleh bertindak sesuai kehendak, tapi kehendakNya-lah yang akan terjadi. Si adik bayi sudah meninggal, qodarullah. Semoga keluarga diberi ketabahan, kesabaran, kekuatan menjalani fase hidup selanjutnya.

Jujur, rasa ngilu membayangkan kejadian ini membuatku belajar banyak sebelum mengalami kehamilan dan dunia pernikahan. Bukankah ujian dalam pernikahan adalah niscaya? Naluri wanita tentu ingin menjadi ibu, apapun caranya. Maka ada beberapa pesan, untuk diriku sendiri di masa depan:

1.       Menikahlah dengan pilihan terbaik yang Allah takdirkan. Jangan salah pilih mengikuti perasaan saja, perhatikan ridha orang tua jatuh kepada siapa. Semoga dengan ridha orang tua itulah, ridha Allah turun untukmu. Menikahlah karena kau siap menghadapi masa depan, bukan soal materi atau umur, tapi siap dengan diri sendiri untuk segala kemungkinan.

2.       Jaga diri dengan pola makan dan pola hidup yang sehat. Allah berikan tubuh, kesempatan di setiap hari, adalah untuk kebaikan kita. Jaga makanan, karena itulah salah satu sebab terbesar dari kesehatan. Olahraga yang rajin, biar siap menghadapi kehamilan.

3.        Hadapi kehamilan dengan bahagia, tenang, yakin sama Allah. Libatkan Allah dalam setiap keputusan, langkah, pertimbangan, biar selalu dijagaNya. Jaga hati, pikiran, tetap positif, yakin semua baik-baik saja. Konsultasi dengan tenaga ahli untuk hal-hal yang belum dipahami. Jangan tahan diri untuk sesuatu yang perlu diluapkan.

4.       Hadapi orang-orang sekitar dengan logika, jangan hanya mengandalkan perasaan. Karena perasaan bisa dikuasai prasangka, sementara logika perlu alasan untuk percaya. Tetaplah bersama orang-orang baik, untuk menjaga diri agar tetap terkendali.

Kejadian buruk yang menimpa orang lain yang kita ketahui, adalah pelajaran berharga untuk kita, tanpa harus mengalaminya sendiri. Sesedih atau semarah apapun terhadap tindakan orang-orang yang kita nilai salah, pada akhirnya kita harus menyadari posisi sebagai penonton. Entah apa yang terjadi, thread tersebut hilang, yang berarti sangat mungkin dihapus oleh pemilik akun, setelah berita  ini viral.

Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, maka sebaiiknya menahan diri untuk mencari tahu. Bagaimanapun buruk kesan yang kita timbulkan terhadap tokoh jahat dalam label yang kita ciptakan, tidak berarti apa-apa di mata hukum tanpa bukti valid. Toh misal benar ada yang menyalahgunakan wewenang dan menjadi penyebab hilangnya nyawa dalam kasus RSUD Jombang ini, hukum semesta tidak akan tinggal diam.

1 comment:

  1. Ngga tega banget pas baca thread-nya... Semoga kebenaran terungkap

    ReplyDelete